Pages

Selasa, 08 Juni 2010

Mengapa Ada Menteri Kesehatan?

Gus Dur sewaktu menjadi Presiden pernah mempunyai gagasan untuk menutup saja Departemen Kesehatan, sebagaimana juga Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Ketiga hal tersebut menurutnya tidak perlu diatur oleh kementerian khusus. Departemen Penerangan dan Departemen Sosisal memang dia bubarkan, tetapi Departemen Kesehatan tidak jadi.

Terlepas dari setuju atau tidak, memang perlu dipertanyakan lagi mengapa dalam kabinet harus ada menteri yang membidangi kesehatan. Selama ini, setidaknya sejak pemerintahan Soeharto, sudah “take it for granted” bahwa harus ada menteri kesehatan dalam kabinet. Tetapi mengapa harus ada menteri kesehatan serta apa uraian tugasnya tidak pernah dipersoalkan. Kedudukan kementerian kesehatan jadi hanya semacam pelengkap politis bagi sebuah kabinet, dari satu menteri ke menteri yang lain tidak pernah menunjukkan bahwa pemerintah memperdulikan kesehatan rakyat.

Oleh karena itu, dalam masa pemerintahan Suharto, posisi menteri kesehatan jadi hanya semacam posisi balas jasa bagi beberapa orang, khususnya dokter, yang dianggap berjasa atau dekat dengan presiden. Pergantian dari satu menteri ke menteri yang lain tidak disertai kejelasan garis kebijakan yang akan diambil.

Memang kemudian ada Rencana Pembangunan Lima Tahun yang di dalamnya juga memuat Repelita bidang kesehatan. Tetapi tidak jelas apa yang sebenarnya akan dicapai atau diberikan oleh pemerintah kepada rakyat dalam bidang kesehatan.

Kebijakan kesehatan yang cukup “spektakuler” adalah adanya pembangunan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang meluas sampai ke setiap kecamatan serta penempatan dokter melalui wajib kerja. Dalam hal pembangunan Puskesmas dan penempatan dokter secara wajib sebenarnya dirancang oleh pemerintahan Sukarno di tahun 1952. Berdasarkan kebijakan untuk menyebarkan dokter ke seluruh pelosok Indonesia diawali dengan mengubah pola pendidikan dokter melalui program yang disebut sebagai “studi terpimpin” dengan pola pendidikan dokter Amerika.

Melalui program tersebut lama pendidikan dokter dipotong dari tujuh tahun menjadi enam tahun dan mahasiswa harus mengikuti jadwal yang ketat secara bersama-sama, sehingga setiap tahun dapat diluluskan sebanyak sekitar 100 dokter baru dari tiap fakultas.

Pembangunan Puskesmas dirancang dalam program “Bandung Plan” tahun 1953 dengan percontohan di Rengasdengklok dipimpin oleh dokter Sulianti (yang namanya kini menjadi nama rumah sakit infeksi di Jakarta Utara). Dalam era Suharto, pembangunan Puskesmas diperluas karena ada dana dari “oil boom” yang melonjak, sehingga di setiap kecamatan berdiri sebuah puskesmas yang dipimpin dokter.

Tetapi yang berbeda adalah tujuan program tersebut. Dalam konsep Dr. Leimena, melalui Bandung Plan tersebut, tujuannya adalah pembinaan higiene dan sanitasi di komunitas rakyat paling bawah. Sedangkan di era Suharto tujuannya lebih kepada menyediakan layanan kuratif. Memang di atas kertas ada program pencegahan dan pembinaan, tetapi praktis tidak berjalan karena tidak ada anggaran.

Selanjutnya dalam era Suharto, urusan menteri kesehatan lebih pada penyediaan rumah sakit dan puskesmas sebagai balai pengobatan, yang berlangsung hingga sekarang. Banyak program pencegahan dan peningkatan kesehatan rakyat yang disusun, tetapi karena tidak menunjukkan hasil yang kasat mata dan sulit dikorupsi, alokasi anggarannya pun sangat minimal.

Dengan pola seperti itu, maka agaknya tugas kementerian kesehatan adalah menyembuhkan orang sakit dan bukannya meningkatkan kesehatan rakyat. Untuk menjadi pemanis politis, diperkenalkan pula Jamkesmas yang intinya menyediakan biaya untuk berobat, dan bukan melalui asuransi kesehatan sosial yang akan mencakup juga pembiayaan untuk pencegahan.

Paham bahwa kementerian kesehatan harus lebih bertugas menyembuhkan orang sakit tidak hanya dianut oleh pimpinan pemerintahan, tetapi juga oleh media massa dan masyarakat umum. Ini mengingatkan kita pada kebijakan kesehatan di zaman VOC dan di zaman Hindia Belanda. Di zaman VOC, perusahaan (VOC) hanya memberikan santunan pengobatan bagi karyawannya, baik orang Eropa maupun rakyat non-Eropa (pribumi, China, Arab). Untuk sebagian besar rakyat yang di luar itu, VOC tidak mau tahu dan menganggap bahwa hal itu menjadi urusan para raja-raja pribumi.

Kehadiran VOC memang berdagang dan belum kolonisasi. Setelah VOC dialihkan ke pemerintah Hindia Belanda, pemeliharaan kesehatan seluruh rakyat otomatis menjadi kewajiban pemerintah kolonial. Hubungan dengan para raja pribumi bukan lagi hubungan dagang, tetapi hubungan sebagai penjajah dan terjajah. Jika pemerintah Hindia Belanda harus menyediakan anggaran untuk pengobatan seluruh rakyat, akan memakan anggaran yang sangat besar. Terutama setelah terjadi Perang Jawa (Perang Diponegoro) yang menguras dana yang sangat besar.

Pemerintah kemudian melakukan sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel) di Jawa untuk mengganti uang yang terkuras tersebut. Jenis tanaman yang harus ditanam rakyat ditentukan sesuai dengan kebutuhan pasar dunia. Rakyat menjadi lebih miskin karena ia tidak lagi bebas mencari penghasilan dari tanaman yang ia miliki. Praktis mereka menjadi kuli dan buruh area tanaman paksa tersebut.

Ketika terjadi wabah campak, cacar, pes dan influensa yang banyak mematikan penduduk, produksi tanaman paksa, khusunya indigo (nila), mengalami penurunan drastis. Maka, Daendels pun menyusun program kesehatan yang menekankan pencegahan dan peningkatan higiene.

Dari sejarah tersebut dapat kita bandingkan jika pemerintah Sukarno menekankan program kesehatannya seperti pemerintah Hindia Belanda, maka pemerintah Suharto dan selanjutnya lebih meniru VOC. Hanya ketika kita dihadapkan kepada angka-angka yang mengindikasikan posisi Indonesia dalam pembangunan kesehatan berada di posisi terendah di antara negara-negara ASEAN, baru kita sadar bahwa selama ini program menyehatkan rakyat telah terabaikan. Selama ini tugas menteri kesehatan lebih kepada penyembuhan tanpa sasaran terukur yang jelas. Ketika kita dihadapkan kepada sasaran MDG's, barulah kita kelabakan mencoba mengubah semua itu.
Kartono Mohamad
Mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
(dikutip dari /www.metrotvnews.com)

1 komentar:

  1. Waduh Indonesia harus perlu menteri kesehatan ya,coba kalo tidak ada menteri kesehatan,siapa yang mau ngurusin kesehatan rakyat,yang miskin saja sekarang masih susah kalo mau berobat.

    BalasHapus