Pages

Jumat, 07 Mei 2010

Perawat Gak Boleh punya Punya Pasien


Perawat tidak boleh melakukan kegiatan yang menjadi kewenangan dokter. Jadinya, perawat tidak boleh mengobati pasien, anamnesa, ataupun member resep obat kepada masyarakat. Peraturan tersebut berdasarkan Undang-Undang Kesehatan. Aturannya. Namun, kenyataannya di pelosok-pelosok, dimana dokter ‘tidak sanggup’ menjangkau, dikirimlah tenaga-tenaga perawat dengan tugas utama mendekatkan pelayanan kesehatan. Akhirnya, segala mengenai pelayanan kesehatan ditangani dengan cepat, tepat dan seadanya. Selogannya ‘one stop services’.
Kesesasat peraturan yang telah menjadi kebenaran umum di wilayah pedalaman dan kepulauan memang sangat unik. Saya kenal dengan beberapa teman Perawat, yang bertugas di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan. Bukannya melakukan anamnesis, obat dan terapi yang mereka pernah lakukan, teman saya itu bahkan beberapa kali membantu melayani pasien yang melahirkan. Bahkan pernah kejadian, walaupun telah ada bidan di desa itu, namun masyarakat masih memilihnya untuk membantu persalinan. Udah akrab, katanya. sehingga terkadang ada masyarakat yang memanggilnya ‘bapak Bidan’. He he….
Kasus mantri desa Misran sendiri bermula ketika hakim PN Tenggarong yang diketuai oleh Bahuri dengan hakim anggota Nugraheni Maenasti dan Agus Nardiansyah memutus hukuman 3 bulan penjara, denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan pada 19 November 2009. Berdasarkan laporan dari orang yang tidak menyukai kesuksesannya, informasi ini dari detik.com

Hakim menjatuhkan hukuman berdasarkan UU 36/ 2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan yaitu Mirsam tak punya kewenangan memberikan pertolongan layaknya dokter. Putusan ini lalu dikuatkan oleh PT Samarinda, beberapa pekan lalu. Akibat putusan pengadilan ini, 13 mantri memohon keadilan ke MK karena merasa dikriminalisasikan oleh UU Kesehatan. Namun tunggu dulu, ketika saya cek di UU 36/2009 yang saya donlud dari internet, kok pasal 82(1) itu justru membahas masalah pelayanan kesehatan pada bencana ya?. Apa saya yang keliru, beritanya yang keliru, pengadilannya yang keliru, ato Misrannya yang keliru????
Trus, bagaimana dengan daerah kita ini? Jika kewenangan perawat/bidan tersebut ditegakkan, maka Dokter harus dapat menangani konsekuensinya dong!!.
"Yang terpenting, hak masyarakat untuk mendapat akses kesehatan dan pertolongan dapat dipenuhi. Selama tak ada akses dokter, tindakan mantri dibenarkan," ujar pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Soedaryatmo, saat dihubungi detikcom, Rabu, (7/4/2010).
"Apalagi jika di daerah terpencil, daerah yang susah mengakses layanan dokter. Asalkan punya keahlian, maka boleh saja menolong karena kesehatan itu hak warga negara," tambahnya.
"Selain masalah akses, juga masalah keterjangkauan harga. Itu harus dikembalikan ke masyarakat. Biarkan masyarakat memilih, mau ke dokter atau ke mantri, dengan pertimbangan keuangan pasien," pungkasnya.
So, gimana dong?? Kembalikan aja kepada kita masing-masing. Yang penting, untuk makhluk yang berfikir, harus siap menanggung resiko dan konsekwensi dari segala keputusan yang di ambil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar