Kota
Batam memiliki wilayah geografis yang sangat strategis karena berada dalam
wilayah pelayaran internasional dan berbatasan langsung dengan Singapura.
Pengembangan pembangunan wilayah bernuansa maritime melalui visi Terwujudnya
Batam Sebagai Bandar Dunia yang Madani. Dua teori
ekonomi makro-spasial yang menekankan pada signifikansi kawasan terhadap
pembangunan suatu pusat pertumbuhan adalah Teori Lokasi dan Teori Pusat
Pertumbuhan. “Locational Theory”dan “Growth Pole Theory” ini apabila
digabungkan akan menjadi pisau analisis yang efektif untuk memotret bagaimana
suatu kawasan bisa berkembang dengan pesat.
Kota Batam menjalankan sistem
ekonomi tersebut dan dijadikan contoh terbaik bagaimana posisi-geo-stratejik
dikombinasikan dengan penerapan kebijakan pembangunan makro-mikro ekonomi yang
pro-bisnis dengan meredusir implikasi negative yang bisa menyertainya melalui
pendekatan populis dan ekologis.
Ruang
lingkup wilayah Kota Batam terbentang antara 0O25’29” LU - 1O15’00” LU dan
103O34’35” BT - 104O26’04” BT dengan total wilayah darat dan wilayah laut
seluas 3.990,00 Km2, meliputi lebih dari 400 (empat ratus) pulau, 329 (tiga
ratus dua puluh sembilan) di antaranya telah bernama, termasuk di dalamnya
pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan negara, yang secara administrasi
pemerintahan terdiri dari 8 (delapan) wilayah Kecamatan. Strategi pengembangan
struktur tata ruang wilayah dan sistem kegiatan pelayanan Kota Batam ditujukan
untuk membentuk satu kesatuan struktur tata ruang dan sistem kegiatan pelayanan
Kota agar berfungsi optimal sebagai pusat-pusat pertumbuhan dan pusat kegiatan
pelayanan perkotaan di wilayah darat dan wilayah laut Kota Batam, maka strategi
pengembangannya adalah Pengembangan pusat-pusat kegiatan pelayanan perkotaan
harus dapat menunjang pertumbuhan wilayah belakang yang dilayani di wilayah
darat maupun wilayah laut, dengan memperhatikan kecenderungan perkembangan Kota
Batam dalam keseluruhan; Meningkatkan fungsi dan peran Kota Batam sebagai pusat
koleksi dan distribusi melalui pengembangan kegiatan industri, perdagangan dan
jasa, dan penataan lokasi simpul-simpul kegiatan transportasi wilayah;
Mengalokasikan berbagai fasilitas dan sarana kegiatan pelayanan Kota ke seluruh
wilayah secara terstruktur; Menata perkembangan dan mengendalikan pelaksanaan
pemanfaatan ruang di wilayah darat dan wilayah laut Kota Batam.
Kota Batam merupakan Kota terbesar di Provinsi Kepulauan
Riau. Negeri dengan 2.408 buah pulau (archipelagic province) sukses terbangun
karena mampu merangkai pulau menyatukan kawasan melalui pendekatan “economic
connectivity” baik melalui gatra darat, laut dan udara. Bandara yang sudah ada
enam buah seperti : Raja Haji Fisabililah di Tg.Pinang, Hang Nadim di Batam,
Sei Bati di Tg. Balai Karimun, Palmatak di Anambas, Ranai di Kab. Natuna dan
Bandara Dabo Singkep, plus rencana pengembangan Bandara baru yang terus
diagendakan seperti di Bintan (kerjasama dengan swasta), Tambelan, Jemaja,
Subi, Serasan, kemungkinan di Midai sampai Pulau Laut menjadikan Kepri sebagai
Provinsi yang memiliki Bandara terbanyak di Indonesia (saat ini).
Pendekatan konektivitas yang dijadikan salah satu strategi
Pemerintah Kota Batam sejalan dengan Teori Ekonomi Pasar tentang pentingnya
sector transportasi bagi memperkuat sector perdagangan di suatu pusat pertumbuhan
dan sentra pembangunan. Ada teori ekonomi yang mengajarkan tentang “the ships
follow the trades, and the trades follow the ships”. Suatu armada pelayaran
akan masuk apabila terdapat komoditas yang akan di antar-dagangkan yang bisa
dibawa pergi-pulang dari suatu destinasi, sedangkan suatu produk di suatu
kawasan baru bisa diperdagangkan antar pulau atau kawasan ekonomi apabila
terdapat sarana dan prasarana pelayaran.
Tidak hanya dari aspek perdagangan yang menjadi “leading
economy”, pendekatan konektivitas juga akan memperkuat di sector pariwisata dan
jasa lainnya. Apalagi dalam memaknai empat pilar pengembangan pariwisata
seperti destinasi, marketing, kelembagaan, dan industri pariwisata, maka
ketersediaan sarana dan prasarana menjadi mutlak. Bahkan dalam Perda No. 2
Tahun 2012. Tentang RIPPDA yang juga menjadi bagian dari Rencana Induk
Pengembangan Pariwisata Nasional (RIPPNAS) dengan pola pendekatan koridor dan
konsentrasi kepariwisataan memerlukan analisis ekonomi spasial ini.
Pertumbuhan ekonomi 8,21 % di tahun 2012 merupakan signal
akan efek positif konektivitas ekonomi antar kawasan (intersuler) dan antar
Negara (internasional). Dengan berbagai sector stretejik yang sudah berkembang
seperti FTZ-BBK (maritime industries) dan ZEE/Zone Ekonomi Eklusif di
NAL/Natuna-anambas-Lingga (marine economy) yang merupakan “dual tracts”
pendekatan pembangunan kawasan stratejik di Provinsi Kepri, ia menandakan
bekerjanya teori ekonomi kawasan dan mesin ekonomi lokasional. Prospek kemajuan
akan terus ditandai dengan ekploitasi deposit dan produksi atas Sumber daya
Mineral dan Migas, investasi di basis militer (Batam, Natuna, Tanjungpinang,
Tg.Uban, dll) dan tumbuhnya aset ekonomi (P.Sambu, Batam, Natuna,
Tanjungpinang, dll)-bandara, kawasan industri, dll, pintu masuk ekonomi
(trading-tourism) dan salah satu “trans-oceanic chock-point dan “innocent
passage” di Selat Philips dan Selat Malaka, serta munculnya beberapa anemo
pembangunan baru. Kota Batam sebagai Bandar Madani utama di Provinsi Kepulauan
Riau memerankan fungsi sentral dalam berjalannya pembangunan di wilayah ini.
Referensi:
Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004 – 2014
Pike, e.a. (2006)
Local and Regional Development. Routledge,
New York
Syamsul Bahrum (2009), Menuju Batam Bandar Dunia Madani,…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar